Dua Kali Keguguran Bisa Punya Anak
(Ibu Matahari Permata Ningrat)
Karena penginnya mempunyai anak cepat-cepat maka begitu aku menikah pada bulan Desember 1998 dengan mas Willy, nama lengkapku adalah ibu Matahari Permata Ningrat, langsung tidak mengikuti program KB. Tiga bulan kemudian aku dinyatakan hamil, betapa bahagianya aku dan mas Willy waktu itu. Kabar kehamilanku itu juga sempat terdengar oleh pihak keluarga mas Willy dan keluargaku.
Setelah aku dua kali keguguran, atas saran dokter kandungan aku disuruh untuk uji lab siapa tahu ada penyakit TORCH (Toxo, Rubella, CMV dan Herves). Aku berdua juga tambah bingung, apa itu TORCH dan kenapa bisa membuatku keguguran? Hasil uji lab, ternyata aku positif terkena TORCH. Mulailah aku berobat ke dokter untuk menghilangkan TORCH dalam tubuhku. Berbagai dokter kandungan dan rumah sakit yang dirasa bisa mengobati penyakit ini aku datangi, namun hasil tidak ada, hingga aku divonis tidak bisa punya anak. Waktu itu aku sedih sekali. Dokter juga mengatakan bahwa medis hingga saat ini tidak bisa mengobati TORCH dengan tuntas.
Dokter kemudian menyarankanku untuk menjalani terapi dengan minum obat setiap hari. Selama berbulan-bulan, minimal 3 butir obat harus kuminum secara teratur. Aku sempat pesimis karena sudah kuturuti semua saran dokter, toh tetap tak membuahkan hasil. Padahal aku baru boleh hamil kembali sampai titernya dinyatakan normal atau “aman” untuk hamil. Tapi sampai kapan, dong, harus bersabar menunggu? Untungnya 7 bulan kemudian aku dinyatakan positif hamil lagi.
Terlebih dokter pun memberi lampu hijau untuk meneruskan kehamilan yang kudambakan ini. Kami sangat senang menerima kabar seperti ini, hingga setiap kali periksa aku memaksanakan diri untuk mengamati perkembangan janinku lewat monitor USG. Sebetulnya enggak ada keharusan seperti itu, sih, tapi lantaran aku betul-betul menikmati perkembangan janinku dari hari ke hari. Toh menurut kerabat dekat yang berprofesi dokter, USG tak berdampak buruk pada kesehatan, kok.
Sayangnya, pada pemeriksaan rutin di bulan ke-4, musibah yang pernah 2 kali menimpaku kembali harus kami hadapi. Sewaktu hendak dimonitor lewat pemeriksaan USG, janinku tak seperti biasanya, selain tak bergerak seperti biasanya, Enggak ada firasat atau pertanda sebelumnya. Cuma aku sempat bingung sewaktu dokter menjelaskan bahwa seharusnya gerakan bayi sudah mulai bisa dirasakan. Tapi, aku kok enggak merasakannya sama sekali. Bahkan perutku terasa sakit dan nyeri luar biasa seperti mau mens. Tapi aku enggak tahu keluhan apa itu. Kupikir, sih, Cuma capek dan butuh istirahat saja.
Setelah diadakan pemeriksaan lebih seksama ternyata janinku masih ada, namun mengalami penyusutan atau mengecil. Dalam arti, secara medis janinku tak berkembang semestinya. Untuk ketiga kalinya aku harus kembali dikuret. Sedih sekali rasanya harus kembali kehilangan bayi yang sangat kami dambakan kehadirannya. Bayangkan, sebagai wanita aku telah berulang kali, merasakan bagaimana bahagianya menjadi calon ibu. Namun berulang kali pula, aku harus merelakan kebahagiaan itu tercabut. Sungguh, sakit lahir batin.
Rasa percaya diriku benar-benar ambruk. Dukungan/penghiburan dari suami keluarga, maupun kerabat terdekat pun seolah masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Teman-temanku bilang, sih, tampangku saat itu kusut banget.
Mencoba pengobatan alternatif TORCH
Setelah kejadian gugur kandungan itu, kembali aku harus menjalani pemeriksaan TORCH. Sementara hasilnya justru membuatku semakin berkencil hati karena kali ini titernya justru lebih tinggi dari pemerikaan sebelumnya. Sayangnya, aku enggak sempat tanyakan ke dokter mengapa bisa begitu. Pokoknya, enggak kepikir ke situ, deh. Aku betul-betul sudah hopeless, kok, enggak sembuh-sembuh, sih, penyakitku? Oleh dokter yang berbeda kali ini pun aku diharuskan menjalani terapi obat-obatan. Tapi berapa lama lagi? Rasanya aku sudah tak sabar menungu kehadiran si kecil.
Di saat depresi/limbung seperti itu, kebetulan ada seorang teman yang menginformasikan tentang seorang ahli pengobatan alternatif. Kabarnya ia dapat menyembuhkan penyakit yang berkaitan dengan TORCH seperti yang kuderita ini. Semula aku ragu dan setengah tidak percaya. Namun karena si ahli pengobatan alternatif ini kebetulan bermukim di kota tempat tinggalku, kudatangi juga. Tentu saja diiringi niat kuat untuk mendapatkan buah hati.
Tak dinyana, sebulan menjalani terapi, aku hamil. Senang tentu saja, walaupun tetap kebingunan. Bagaimana ini? Bukankah seharusnya aku belum boleh hamil dulu. Tapi tetap kujalani terapi pengobatannya berupa ramuan yang harus kuminum setiap hari. Sementara menjalani terapi alternatif ini, kuputuskan untuk tidak melanjutkan terapi medisku. Mungkin karena aku sudah kecil hati, buang uang dan waktu, tapi tak ada perbaikan berarti.
Hanya saja ahli pengobatan terapi ini menganjurkan untuk tetap melakukan pemeriksaan antenatal seperti halnya ibu-ibu hamil lainnya. Dari pemeriksaan rutin aku mendapat vitamin dan obat penguat rahim sambil tetap rutin memantau kehamilan lewat USG, tiap bulan. Terus terang aku sempat ganti dokter kandungan, lo. Sengaja kupilih yang tidak tahu riwayat penyakitku. Memang, sih, dokter ini menanyakan macam-macam, tapi aku terpaksa menyembunyikannya. Terpaksa kulakukan itu karena khawatir dokter memaksaku menghentikan pengobatan alternatif yang sedang kujalani. Menurut dokter, sih, kondisiku sehat atau baik-baik saja. Sering bepergian jauh menempuh jarak Bogor-Bandung pun enggak masalah. Sampai-sampai aku sempat heran juga, kok, bisa setegar ini padahal sewaktu kehamilan-kehamilan terdahulu boleh dibilang, selalu ambruk. Bahkan pada kehamilan ketiga malah sempat bedrest total.
Aku enggak tahu persis ramuan apa yang diberikan si ahli pengobatan alternatif ini. Katanya, sih ramuan dari akar-akaran. Pasien yang datang enggak perlu repot-repot merebut atau meracik ramuan yang dikemas dalam botol aqua besar dan dianjurkan disimpan di kulkas. Ramuan inilah yang harus diminum setiap pagi sebelum masuk makanan apa-apa. Tak perlu banyak-banyak cukup sekitar 120 ml dicampur madu sesendok makan.
Kalau ngingat rasa aromanya yang kecut-kecut mirip bau kaus kaki bekas, sih. Rasanya enggak ketelan juga. Tapi demi kebaikan si kecil, ayo aja, deh. Begitu pikirku. Toh harganya relatif hemat karena sebotol besar rata-rata bisa digunakan untuk sekitar 2 minggu. Hingga bila dihitung-hitung sebulan hanya perlu menyediakan dana sekitar Rp 500 ribu. Selama menjalani pengobatan itu, setiap 2-3 bulan aku diam-diam memeriksakan darahku ke laboratorium. Hasilnya sungguh menakjubkan: ada penurunan drastis pada angka-angka pemeriksaan. Hasilnya ini tentu saja membuatku makin semangat menjalani terapinya. Hingga beberapa bulan menjelang persalinan kadar toksoku negatif.
Di saat terakhir menjelang persalinan akhirnya aku buka kartu pada dokter yang tentu saja terkaget-kaget dan sempat khawatir kalau ada apa-apa dengan persalinanku. Akhirnya berkat permohonan yang seolah tak pernah habis kupanjatkan ke Yang Maha Kuasa, kekalutanku bakal menemui berbagai kesulitan sepanjang kehamilan atau stress akan risiko memiliki anak yang tak normal, ternyata tidak terbukti. Tanggal 10 Februari 2001 si kecil lahir dengan bantuan vakum. Ia kami beri nama Daffa Ageng Muhammad Jauzza & pada bulan Januari’ tanggal 2 tahun 2003 telah lahir anak ke dua di beri nama Arkan Adia Akbar.
Alhamdulillah, sejauh ini ia sehat-sehat saja, tuh. Sesekali batuk pilek, kuanggap lumrah, tapi itu pun relatif jarang sekali, kok. Aku sendiri yang merawatnya sampai sekarang, ia masih mendapatkan ASI. Ia pun bukan tipe rewel atau melankolis padahal dulu aku gampang sekali bersedih.
Pengakuan di atas disampaikan oleh Ny Matahari PN Willi, ibunda dari Daffa Ageng Muhammad Jauzza dan Arkan Adia Akbar sudah dimuat di Tabloid Nakita terbitan Jakarta beberapa waktu lalu.
Assallamualaikum. Saya mau tanya klinik itu ad di sekitar daerah bekasi ga? Terima kasih